Tradisi Perang Adat Pasola, Ritual dan Atraksi Budaya di Sumba yang Digelar Setiap Tahun

4 Februari 2024, 18:54 WIB
Seorang peserta festival Pasola sambil memegang "aipahola" atau kayu pasola memacu kudanya dalam acara Festival Pasola Wanokaka, di Kecamatan Wanokaka, Kabupaten Sumba Barat, NTT, Selasa, 26 Februari 2019. /ANTARA FOTO/Kornelis Kaha/

SUMBA STORI - Pasola merupakan salah satu tradisi dan peristiwa budaya yang diadakan di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pasola adalah sebuah jenis permainan yang melibatkan keterampilan melempar lembing kayu dari punggung kuda.

Pasola berasal dari kata sola atau hola yang berarti kayu lembing dengan ujung tumpul. Dalam konteks ritual, Pasola merupakan tradisi perang adat dimana dua kelompok penunggang kuda saling berhadapan, kejar-mengejar seraya melempar lembing kayu kearah lawan.

Dikutip dari laman Jendela Pendidikan dan Kebudayaan, Pasola adalah permainan ketangkasan dimana para pemain saling melempar lembing kayu dari atas kuda. Orang Sumba menyelenggarakan tradisi Pasola sebagai perayaan musim tanam padi.

Pasola adalah upacara yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan nenek moyang (Marapu), dengan pengampunan dan kemakmuran serta untuk hasil panen yang melimpah.

Di Sumba, setiap bulan Februari hingga Maret, terdapat beberapa kampung yang menyelenggarakan tradisi Pasola. Beberapa kampung yang merayakan tradisi ini di antaranya Kodi, Lamboya, Wanokaka, dan Gaura.

Ritual ini diadakan sesuai dengan penanggalan yang ditetapkan oleh para pemimpin adat atau kepala suku. Para tetua dalam masyarakat menggunakan metode hitungan bulan gelap dan bulan terang serta tanda-tanda alam untuk menentukan penanggalan. Metode yang digunakan untuk memperoleh data tentang tanggal Pasola adalah melalui pelaksanaan upacara adat Nyale.

Nyale merujuk pada cacing laut, sedangkan ritual Nyale adalah ritual penggalian cacing laut yang diadakan di tepi pantai pada waktu sore yang dipimpin oleh seorang kepala adat.

Upacara Nyale dilakukan ketika bulan purnama tiba, pada saat tersebut cacing laut akan muncul di tepi pantai. Para ahli memperkirakan bahwa nyale akan muncul pada pagi hari sekitar pukul 07.00 Wita. Jika tidak berhasil mendapatkan Nyale, maka Pasola tidak bisa dilaksanakan, dan dianggap sebagai sebuah kemalangan.

Di samping meramalkan waktu pelaksanaan Pasola, Nyale juga dipercaya dapat memperkirakan hasil panen masyarakat setempat. Jika Nyale banyak dan sehat maka panen akan baik, tetapi jika Nyale sedikit dan sakit maka panen akan buruk.

Sebelum dimulainya Pasola, rato-rato akan mengadakan perayaan nyale di tepi pantai. Ritual Nyale dilakukan dengan upaya memburu dan menangkap Nyale yang muncul dari perairan laut. Setelah itu, Nyale diangkut ke tempat yang suci dan dihadiahkan kepada nenek moyang dan para dewa.

Kemudian, rato akan memilih waktu dan lokasi Pasola berdasarkan jumlah, warna, dan tampilan Nyale. Jika tidak ada penampakan Nyale, maka ritual Pasola tidak bisa dilaksanakan dan diartikan sebagai pertanda negatif.

Pasola merupakan kegiatan yang bertempat di area terbuka yang memiliki luas yang cukup besar serta datar. Pasola melibatkan dua kelompok yang berseberangan, umumnya tergantung pada daerah atau suku. Setiap kelompok terdiri dari beberapa puluh ksatria yang naik kuda dan membawa senjata lembing dari kayu.

Lembing kayu yang dipergunakan untuk pasola memiliki ujung yang tidak terlalu runcing dan dilapisi dengan kain berwarna putih. Lembing dari bahan kayu ini sering disebut dengan nama aipahola atau juga dikenal sebagai aihola. 

Pasola dimulai dengan acara pembukaan yang dipimpin oleh rato. Rato akan menyampaikan doa dan mantra, juga memberikan berkah kepada semua peserta Pasola. Kemudian, rato akan melemparkan lembing kayu pertama menuju lawan sebagai isyarat bahwa Pasola telah dimulai.

Lalu, para ksatria naik kuda mereka dan secara bersamaan melempar lembing kayu ke arah musuh. Pasola diselenggarakan dengan semangat dan kegembiraan yang tinggi, namun tetap mematuhi peraturan dan norma-norma yang berlaku.

Sebagai salah satu persyaratan Pasola, dilarang untuk menyerang lawan yang tidak membawa senjata, tidak menggunakan kuda, atau sedang dalam keadaan terjatuh. Apabila seseorang melakukan pelanggaran terhadap peraturan ini, ia akan mendapatkan sanksi dari ratu atau dari anggota kelompoknya.

Disamping itu, Pasola perlu dijalankan dengan sikap saling menghargai dan fair play, bukan atas dasar ingin membalas dendam. Pasola juga harus tetap dijalankan tanpa campur tangan dari pihak luar, termasuk pemerintah maupun wisatawan.

Durasi Pasola bervariasi tergantung pada kondisi lapangan dan jumlah pesertanya. Pasola akan berhenti apabila rato mengangkat tangannya dan menghembuskan terompet sebagai isyarat berakhirnya acara tersebut.

Setelah itu, rato akan menghitung total lembing kayu yang jatuh di area lapangan dan mengumumkan pemenang dari acara Pasola. Pasukan yang memiliki stok lembing kayu yang lebih besar di area Pasola akan menjadi pemenang. Walau begitu, hasil dari pertandingan Pasola tidak begitu signifikan sebagaimana pentingnya proses dan arti yang terkandung dalam Pasola itu sendiri.

Satu interpretasi dari Pasola adalah perbuatan mengorbankan nyawa. Pengorbanan darah dipandang sebagai tindakan penghormatan kepada nenek moyang dan para dewa, juga sebagai unsur yang memberikan nutrisi bagi tanah dan laut.

Golongan yang bertikai juga menandakan persatuan dan keharmonisan antara dua kelompok yang berselisih. Dalam rangka tersebut, Pasola harus berakhir dengan upaya saling memaafkan dan bersatu, bukan dengan membangkitkan dendam atau permusuhan.

Perayaan Pasola merupakan warisan budaya kuno yang masih tetap dijaga oleh penduduk Sumba sampai saat ini. Keberanian, keterampilan, kehormatan, kesuburan, kemakmuran, dan perdamaian adalah beberapa dari banyak nilai-nilai mulia yang terkandung dalam tradisi Pasola, sebuah warisan budaya yang sangat kaya.

Pasola adalah acara budaya yang menarik dan tidak biasa, yang bisa mengundang minat pengunjung dari dalam dan luar negeri. Pasola merupakan salah satu manifestasi kekayaan dan keragaman budaya Indonesia yang layak menjadi kebanggaan dan harus dilestarikan.***

Editor: Yanto Tena

Tags

Terkini

Terpopuler